Author: Muhammad Ilham
"Berjalan di jalan yang lempang, justru terkadang membuat kita manja"
(Taufik Ismail)
"Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum apabila kaum tersebut tidak bergerak (merubah) nasib mereka sendiri ..........."
(Al-Qur'anul Karim)
Tahun 2011 akan berakhir dan 2012 pasti akan jelang dan datang. Waktu terus berputar, sebuah sunnatullah yang memang tak akan pernah berhenti. Perubahan terus terjadi, dalam segala bentuk dan dinamikanya. "Perubahan adalah sesuatu yang abadi dan pasti", demikian kata seorang filosof barat yang saya lupa namanya. Begitu banyak persoalan-persoalan selama tahun 2011 yang membuat kita serasa tidak optimis menghadapi tahun 2012. Ada rasa apatisme menghadapi tahun yang diprediksi oleh World Bank sebagai tahun dengan memburuknya perekonomian dunia. Walaupun "dukun" Permadi dalam acara Indonesia Lawyers Club mengatakan tahun 2012 sebagai tahun "angkara murka" bagi penguasa sekarang, tapi itu hanyalah "terawang" untuk memanaskan saluang. Hanya orang "idiot" percaya dengan "terawang" jenis ini. Dunia penuh indikator-terukur-akademik, masih percaya dengan "dukun" .... "apa kata dunia bro !". Bahkan Karni Ilyas dalam acara Indonesia Lawyers Club tersebut menggugat "terawang-terawang" Permadi yang tak ada betul dan mengena. Tapi sudahlah, setiap orang berhak berimprovisasi. Sebagaimana halnya, setiap orang juga berhak menjual nasi goreng, tabu panggang, goreng ubi dan pisang goreng (he...he... entah kemana perbandingannya). Adalah perkara yang sangat mudah untuk menjadi apatis karena kita hanya dituntut untuk tidak melakukan apa-apa. Pada konteks-konteks tertentu sikap apatis ini mirip dengan sikap berani mati sedangkan lawannya, sikap optimis merepresentasikan sikap berani hidup. Optimisme adalah jalan terjal dan berliku. Didalamnya tersimpan sikap berpantang putus asa, berani mencoba dan menganalisa, percaya pada harapan dan tidak alergi terhadap kegagalan.
Bagi kaum apatis mungkin kaum optimis dianggap sebagai kaum bodoh yang tidak jera-jeranya dibohongi berkali kali. Namun sikap optimis yang paling sederhana ini yang dalam istilah Jean-Paul Sartre disebut sebagai optimis pasif, pada hakikatnya adalah salah satu pintu menuju perubahan. Disisi lain selain kaum optimis pasif, masih ada segelintir kaum optimis aktif dengan gerakan-gerakan yang nyaris tidak terekspose. Kalau boleh jujur, pada saat ini media sangat berpihak pada kaum apatis yang teramat sering dikesankan sebagai kaum yang kritis lagi terpelajar. Intelektualitas mereka justru di"umbar" untuk menunjukkan apatisme mereka. Memilih untuk optimis berarti memilih untuk berani mengambil pilihan pada keadaan sulit. "Berjalan di jalan yang lempang, justru terkadang membuat kita manja, " kata penyair Taufik Ismail. Percaya pada keajaiban yang mungkin muncul sebagai konsekuensi logis atas setiap pergerakan, karena keajaiban itu hanya berpihak pada kaum yang bertindak.
Negara ini dan banyak negara-negara lain didirikan oleh sekelompok orang-orang yang optimis, yang berani menyimpan mimpi dan memproyeksikannya pada rencana-rencana, lalu kemudian mengimplementasi kannya pada gerakan-gerakan. Coba bayangkan, apa jadinya jika kaum terpelajar kita pada era 1920-an terjebak dalam sikap apatis, mungkin saat ini kita tidak akan menemukan istilah Indonesia di peta dunia. Apa jadinya kalau Para Pemuda tidak "memaksa" Sukarno-Hatta memnproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebuah kemustahilan dan kegamangan kala itu. Tapi para pemuda-pemuda tersebut memiliki optimisme besar bahwa sebuah mimpi harus diejawantahkan, dan itu butuh keberanian. Sikap kritis sebagai buah intelektualitas memang bermata dua, satu sisi adalah optimisme dan sisi lain adalah apatisme. Apapun yang kita pilih, kitalah yang akan bertanggungjawab atas pilihan itu. Selamat Datang Tahun 2012 !
"Berjalan di jalan yang lempang, justru terkadang membuat kita manja"
(Taufik Ismail)
"Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum apabila kaum tersebut tidak bergerak (merubah) nasib mereka sendiri ..........."
(Al-Qur'anul Karim)
Tahun 2011 akan berakhir dan 2012 pasti akan jelang dan datang. Waktu terus berputar, sebuah sunnatullah yang memang tak akan pernah berhenti. Perubahan terus terjadi, dalam segala bentuk dan dinamikanya. "Perubahan adalah sesuatu yang abadi dan pasti", demikian kata seorang filosof barat yang saya lupa namanya. Begitu banyak persoalan-persoalan selama tahun 2011 yang membuat kita serasa tidak optimis menghadapi tahun 2012. Ada rasa apatisme menghadapi tahun yang diprediksi oleh World Bank sebagai tahun dengan memburuknya perekonomian dunia. Walaupun "dukun" Permadi dalam acara Indonesia Lawyers Club mengatakan tahun 2012 sebagai tahun "angkara murka" bagi penguasa sekarang, tapi itu hanyalah "terawang" untuk memanaskan saluang. Hanya orang "idiot" percaya dengan "terawang" jenis ini. Dunia penuh indikator-terukur-akademik, masih percaya dengan "dukun" .... "apa kata dunia bro !". Bahkan Karni Ilyas dalam acara Indonesia Lawyers Club tersebut menggugat "terawang-terawang" Permadi yang tak ada betul dan mengena. Tapi sudahlah, setiap orang berhak berimprovisasi. Sebagaimana halnya, setiap orang juga berhak menjual nasi goreng, tabu panggang, goreng ubi dan pisang goreng (he...he... entah kemana perbandingannya). Adalah perkara yang sangat mudah untuk menjadi apatis karena kita hanya dituntut untuk tidak melakukan apa-apa. Pada konteks-konteks tertentu sikap apatis ini mirip dengan sikap berani mati sedangkan lawannya, sikap optimis merepresentasikan sikap berani hidup. Optimisme adalah jalan terjal dan berliku. Didalamnya tersimpan sikap berpantang putus asa, berani mencoba dan menganalisa, percaya pada harapan dan tidak alergi terhadap kegagalan.
Bagi kaum apatis mungkin kaum optimis dianggap sebagai kaum bodoh yang tidak jera-jeranya dibohongi berkali kali. Namun sikap optimis yang paling sederhana ini yang dalam istilah Jean-Paul Sartre disebut sebagai optimis pasif, pada hakikatnya adalah salah satu pintu menuju perubahan. Disisi lain selain kaum optimis pasif, masih ada segelintir kaum optimis aktif dengan gerakan-gerakan yang nyaris tidak terekspose. Kalau boleh jujur, pada saat ini media sangat berpihak pada kaum apatis yang teramat sering dikesankan sebagai kaum yang kritis lagi terpelajar. Intelektualitas mereka justru di"umbar" untuk menunjukkan apatisme mereka. Memilih untuk optimis berarti memilih untuk berani mengambil pilihan pada keadaan sulit. "Berjalan di jalan yang lempang, justru terkadang membuat kita manja, " kata penyair Taufik Ismail. Percaya pada keajaiban yang mungkin muncul sebagai konsekuensi logis atas setiap pergerakan, karena keajaiban itu hanya berpihak pada kaum yang bertindak.
Negara ini dan banyak negara-negara lain didirikan oleh sekelompok orang-orang yang optimis, yang berani menyimpan mimpi dan memproyeksikannya pada rencana-rencana, lalu kemudian mengimplementasi kannya pada gerakan-gerakan. Coba bayangkan, apa jadinya jika kaum terpelajar kita pada era 1920-an terjebak dalam sikap apatis, mungkin saat ini kita tidak akan menemukan istilah Indonesia di peta dunia. Apa jadinya kalau Para Pemuda tidak "memaksa" Sukarno-Hatta memnproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebuah kemustahilan dan kegamangan kala itu. Tapi para pemuda-pemuda tersebut memiliki optimisme besar bahwa sebuah mimpi harus diejawantahkan, dan itu butuh keberanian. Sikap kritis sebagai buah intelektualitas memang bermata dua, satu sisi adalah optimisme dan sisi lain adalah apatisme. Apapun yang kita pilih, kitalah yang akan bertanggungjawab atas pilihan itu. Selamat Datang Tahun 2012 !
No comments:
Post a Comment