Home Daftar Isi

Survey dan Akal Sehat

Author : Hasan Nasbi

Ada soal hitungan sederhana. Jika hanya ada enam orang dan delapan rumah,mungkinkah setiap rumah diisi oleh minimal satu orang dalam waktu bersamaan? Apa jawaban Anda? Barangkali pembaca sedikit berpikir. Kening Anda terlihat berkerutkerut, takut ada jebakan dalam pertanyaan di atas. Mungkin juga ada yang mengira pertanyaan tadi semacam soal teka-teki dari filosof Zeno tentang lomba lari antara Achilles versus kura-kura, soal kesalahan berpikir yang seolah-olah logis.

Bukan.Yakinlah bahwa tulisan ini tidak sedang memberikan tebak-tebakan. Hanya sebuah pertanyaan sederhana yang seharusnya bisa dijawab dengan baik oleh anak kelas satu sekolah dasar. Pembaca tidak perlu membuat coretan tentang berbagai rumus aljabar. Betul-betul soal sederhanadanjawabannya adalah “tidak mungkin”. Itu jawaban akal sehat.

Ini hanya sedikit intermezzo sebelum kita masuk ke dalam bahasan tulisan ini. Kita akan bicara tentang hasil survei dan penggunaan akal sehat, juga keprihatinan terhadap media massa yang tidak selektif memublikasikan hasil survei politik.

***

Jumat (6/2), sedikitnya ada 14 media cetak nasional yang memberitakan hasil sebuah survei politik.Jumlah tersebut belum termasuk situs berita, radio, dan koran daerah. Bisa diperkirakan berita tersebut tersebar cukup luas di masyarakat, tentu saja atas bantuan media massa.

Sebenarnya, publikasi survei adalah sebuah hal yang lumrah.Apalagi menjelang pelaksanaan pemilu. Cuma,ada hal yang sangat menyedihkan dari publikasi tersebut. Sebuah pertanda bahwa akal sehat para jurnalis sedang dipertaruhkan. Lebih jauh dari itu, akal sehat para pengamat politik juga sedang dipertanyakan. Sebab,sebagian besar konferensi pers survei politik juga menghadirkan pengamat politik agar terkesan punya legitimasi ilmiah.

Sebagian besar jurnalis ternyata sama sekali tidak selektif memilah hasil survei yang harus diberitakan kepada publik. Begitu juga dengan para pengamat yang dihadirkan sebagai analis hasil survei.Mereka,para pengamat ini, terlalu malas untuk sedikit berusaha memahami hasil sebuah survei secara runtut dan detail. Hampir dapat dipastikan, halaman pertanggungjawaban data dan metodologi selalu dilewatkan. Coba perhatikan keterangan berikut. Menurut beberapa berita di media cetak,survei tersebut diselenggarakan pada tanggal 19–31 Januari 2009 dengan melibatkan 2.118 responden di 33 provinsi, 132 kabupaten/ kota, 660 kecamatan,dan di 2.640 desa/kelurahan. Tingkat keyakinan 95% dan margin of errorsurvei sebesar +/- 3–5%. Tiga media cetak menuliskan secara detail keterangan data survei sampai pada jumlah desa/kelurahan yang menjadi target. Sementara sisanya hanya menuliskan jumlah kabupaten dan kecamatan yang menjadi target survei.Oleh karena ada lebih dari satu media cetak memberitakan keterangan yang persis sama,bisa dipastikan media tidak salah kutip.

Kita tidak membutuhkan keahlian statistik tingkat tinggi untuk membaca ketidakberesan pertanggungjawaban data survei ini. Sangat tidak logis jika jumlah responden lebih sedikit daripada jumlah desa/kelurahan yang menjadi target survei. Sekalipun dalam satu desa/kelurahan hanya terdapat satu responden, sedikitnya jumlah responden yang layak dikemukakan adalah 2.640 orang dalam survei tersebut.

Ada beberapa kemungkinan yang bisa menjelaskan kenapa sampai terjadi hal semacam ini. Namun tidak ada satupun diantara kemungkinan itu yang membawa berita baik sehingga publikasi yang aneh itu bisa dibenarkan.

Pertama, kesalahan manajemen survei.Bisa jadi pada awalnya jumlah responden adalah 2.640 orang.Ini perkiraan minimal sesuai dengan jumlah desa/kelurahan yang menjadi target. Bila hal ini benar,berarti manajemen survei gagal mengembalikan sekitar 522 kuesioner (20%) sehingga tidak bisa diikutkan dalam pengolahan data.Tanpa penjelasan teperinci tentang kehilangan proporsionalitas data berdasarkan wilayah dan tanpa pembobotan ulang yang benar, kehilangan kuesioner sebanyak itu dapat merusak data survei secara keseluruhan sehingga sangat tidak layak untuk ditampilkan, apalagi dipublikasikan.

Kedua, survei fiktif. Biasanya pelaku survei melakukan aktivitas yang sangat runtut,mulai dari desain,turun ke lapangan, dan pelaporan. Jika dilakukan dengan benar, analis yang membuat laporan niscaya memiliki kerangka berpikir yang sistematis sehingga mustahil alpa dari ketidaklogisan semacam ini. Lain halnya jika survei yang dilakukan bersifat fiktif, kealpaan ini bisa terjadi. Khayalan atau imajinasi sangat mungkin tidak terstruktur dengan baik jika tidak dikoreksi berulang-ulang.

Perlu dipahami bahwa keanehan pertanggungjawaban data seperti ini tidak mungkin terjadi hanya karena keteledoran. Sebab, dalam rilis lembaga yang sama pada Desember 2008 ditemukan kesalahan sejenis, tapi lebih parah.Menurut keterangan mereka kepada pers, survei dilakukan dengan melibatkan 1.355 responden di 556 desa/kelurahan,di 33 provinsi,556 kelurahan/desa, 2.729 RW, dan di 29.765 RT.Tingkat keyakinan 95% dan margin of error +/- 3–5 % (Detik.com, 9/12/2008). Jika kita mau berpikir iseng sedikit, berarti satu orang responden diwawancarai sambil perpindah- pindah tempat di 22 RT yang berbeda. Atau setiap responden punya rumah di 22 RT yang berbeda dan kebetulan selalu terpilih menjadi target karena terdapat 29.765 RT yang masuk sebagai sampel dalam survei tersebut.

Ketiga, ini sedikit soal statistik, tetapi tidak rumit, yaitu soal margin of error. Harus ditegaskan bahwa margin of error bukanlah hasil tebak-tebakan, berdasarkan wangsit, dan bukan pula ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Ketua Tim Riset.Margin of error (sampling error) adalah tingkat toleransi kesalahan survei yang bersumber pada proses penentuan sampel. Yang memengaruhi margin of error adalah jumlah responden dan tingkat keyakinan yang diinginkan.

Jadi, secara logis, dengan tingkat keyakinan yang sama, tidak mungkin jumlah responden 2.118 memiliki margin of error yang sama dengan survei yang memiliki responden 1.355. Coba perhatikan margin of error survei bulan Desember dan Januari di atas. Sama-sama +/- 3–5 % bukan? Sampaidisanasaja, survei di atas sudah kerepotan mempertahankan diri.Apalagi kalau sampai ditelanjangi perihal kebenaran ukuran margin of error sebesar 3–5% tersebut. Jika kesalahan dasar semacam ini selalu terjadi, berarti lembaga bersangkutan sama sekali tidak memiliki kapasitas untuk melakukan riset kuantitatif.

***

Jika survei di atas hanya jadi konsumsi privat, tentu tidak akan terlalu bermasalah. Paling tidak, hampir tidak ada masyarakat yang menjadi korban informasi. Sayangnya, survei tersebut telanjur diberitakan secara luas. Survei ini mendapatkan legitimasi karena telah menjadi berita dan ditambah dengan komentar pengamat kenamaan.

Padahal, seandainya saja para jurnalis dan para pengamat politik mau sedikit berpikir serta bersedia menggunakan akal sehat dengan mudah mereka bisa mendeteksi survei yang tidak benar. Justru soal keanehan survei ini yang bisa terus dipertanyakan kepada si penyelenggara sebagai bagian dari gugatan kredibilitas.Jika ada sedikit kemauan untuk menelaah, publik tidak perlu memperoleh informasi dari sebuah survei yang memang dilakukan oleh orang-orang tanpa kapasitas. Bukankah berpikir dan berakal sehat itu tidak terlalu berat?(*)

Share On:

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment