Author : Hasan Nasbi
Sorry numpang curhat.
Hari Sabtu (19/7), saya bertemu Harry Poeze, penulis biografi Tan Malaka. Kebetulan dia sedang berada di Indonesia sampai tgl 28 Juli nanti. Sebenarnya ini pertemuan biasa saja. Memang setiap tahun dia ke Jakarta, dan kami selalu bertemu, baik itu pertemuan pribadi ataupun rame-rame bersama sisa-sisa orang tua pengikut Tan Malaka. Cuma, ada pembicaraan dalam pertemuan itu yang membuat saya malu bercampur geram sebagai bangsa Indonesia.
Singkat cerita begini. Setahun yang lalu Poeze datang ke Jakarta meluncurkan buku tentang kehidupan terakhir Tan Malaka (Verguis en Vergeten, dihujat dan dilupakan). Di sana Poeze membuka misteri kematian Tan Malaka, termasuk soal waktu, tempat, dan nama orang yang mengeksekusi Tan Malaka. Terbukalah akhirnya bahwa Tan Malaka ditembak di Desa Selopanggung, Lereng Gunung Wilis, Kediri, pada tanggal 21 Februari 1949, oleh Soekotjo. Soekotjo adalah anggota Kesatuan Macan Kerah pimpinan Surachmat. Soekotjo ini kemudian menjadi Walikota Surabaya (tahunnya saya lupa). Buku setebal 2000 halaman itu sedang diterjemahkan oleh Hesri Setiawan. Mungkin 250 halaman pertama akan terbit dalam bahasa Indonesia bulan November 2008.
OK. Balik lagi. Saya bukan hendak menulis misteri kematian TM. Setelah peluncuran buku itu, Poeze bertemu dengan Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah. Dalam pertemuan, Bachtiar berjanji membantu pembiayaan riset untuk memastikan kuburan Tan Malaka. Kerjaan pemerintah tidak lagi berat, enteng saja. Pooeze sudah membuka jalan yang sangat terang. Bahkan ia sudah memerkirakan lokasi seluas 100 m2 sebagai tempat penguburan Tan Malaka. Namun, untuk memastikannya perlu riset yang serius dengan melibatkan ahli tanah, ahli forensik, dan juga tes DNA. Kebetulan dua orang keponakan langsung Tan Malaka (Zulfikar dan Ida Munir) masih hidup, so, tes DNA terhadap sisa-sisa fosil yg ditemukan masih bisa dilakukan.
Yang jadi soal adalah, ternyata gerak pemerintah Indonesia dalam memastikan kuburan seorang pahlawan kemerdekaan nasioanl lambat sekali. Sejak pertemuan dengan menteri sosial pertengahan 2007 lalu, sudah dua kali Poeze ke Jakarta. Gerak selangkah pun ternyata belum ada. Kalo soal sejarah kaya gini sepertinya ga bakal seksi. Mungkin yang seksi (kalo ngutip salah satu teman di milis sebelah, Baca: “erotis” he..he ) cuma urusan Pemilu dan Pilkada.
Beberapa waktu lalu, tim pencarian kubur Tan Malaka yang dibentuk oleh keluarga dan sisa-sia pengikut TM bertemu kembali dengan Pejabat di Direktorat Kepahlawanan Depsos. Jawaban yang diberikan sungguh kurang ajar. Menurut Ketua dan Sekretaris Tim (Zulfikar dan DP ASral), Depsos bilang kalau tidak ada mata anggaran untuk memastikan kuburan Tan Malaka. Kalau sudah ketemu dan pasti, baru bisa keluar dana untuk memugar dan memindahkan kuburannya. Intinya..tetap ga akan ada bantuan pemerintah untuk memastikan kuburan seorang pahlawan. Weleh..weleh..Mereka cuma mau enaknya aja. Bagi pemerintah/pejabat kita mungkin harga sejarah sama dengan setangguk ikan teri. Dibuang pun ga masalah.
Saya malu sekali pernyataan seperti itu akhirnya sampai ke telinga Poeze. Mau ga mau, malu ga malu, tim pencari kubur itu akhirnya curhat juga. Kalau muka bisa dipindah ke pantat, mungkin sudah saya lakukan.
Berkali-kali Poeze mengulang-ulang pernyataan Menteri Sosial setahun yang lalu. ” Pemerintah Indonesia harusnya yang bertanggung jawab memastikan kuburan Tan Malaka, dan bapak Menteri sudah berjanji” Begitu dia mengulang-ulang. Duh, Poeze kesannya naif sekali. Sampai akhirnya saya bilang; “Di sini berbeda. jangan terlalu percaya sama janji pejabat di Indonesia. Hari ini dia berjanji, besok pasti sudah lupa”. Tampak sekali Poeze gusar. Tampak juga bahwa sekitar 20-an orang yg hadir waktu itu juga malu besar.
Poeze sudah menghabiskan 30 hidupnya untuk meneliti, menyusun puzzle kehidupan dan kematian Tan Malaka yang penuh misteri. Sampai akhirnya dia berhasil menemukan titik terang. Kita, orang Indonesia tinggal membaca, berdiskusi dan berdebat.
Saya tahu, sebagian besar riset terakhirnya, termasuk bolak-balik Indonesia dijalani dengan biaya sendiri. Bukan berasal dari bantuan lembaga yang dipimpinnya. Padahal, gajinya sudah dipotong 40% untuk pajak di negerinya.
Saya rasa Poeze juga ingin melihat keseriusan pemerintah kita. “Saya punya ongkos untuk berjalan sendiri. Tidak perlu menanggung biaya perjalanan saya. Tetapi untuk penyelidikan kuburan harus dilakukan dan dibiayai oleh pemerintah Indonesia,” begitu Poeze mengeluarkan unek-uneknya. Saya cari-cari lagi muka saya, ternyata masih bertengger di atas leher..
Akhirnya, saya mengusulkan kepada tim untuk tidak lagi bergantung sama pemerintah. Saya minta mereka membuat proposal dan juga rincian biaya untuk menggali dan memastikan kuburan TM. Saya yakin masih ada orang-yang peduli dengan sejarah dan bersedia membantu, meski tidak sebesar anggaran yang biasanya keluar dari kocek pemerintah.
Akhirnya, sampailah saya pada maksud yang sebenarnya..he..he. Jika ada di antara pembaca blog ini yang masih punya kepedulian terhadap sejarah, atau punya simpati terhadap Tan Malaka, mungkin bisa ikut membantu. Jika anda bersedia, mohon hubungi saya via japri di datuakrajoangek@yahoo.com atau 081511470144. Jika anda berkenan, tolong beri nomor kontak anda, dan izinkan saya memberikan nomor kontak itu kepada Tim Pencarian Makam TM. Mereka nanti yang akan melakukan kontak.
Ahh…sedikit lega…Akhirnya unek-unekku sudah keluar. Untung tidak telanjur jadi jerawat. Maaf kalau ngaco dan ga sistematis. Semoga berkenan
Sorry numpang curhat.
Hari Sabtu (19/7), saya bertemu Harry Poeze, penulis biografi Tan Malaka. Kebetulan dia sedang berada di Indonesia sampai tgl 28 Juli nanti. Sebenarnya ini pertemuan biasa saja. Memang setiap tahun dia ke Jakarta, dan kami selalu bertemu, baik itu pertemuan pribadi ataupun rame-rame bersama sisa-sisa orang tua pengikut Tan Malaka. Cuma, ada pembicaraan dalam pertemuan itu yang membuat saya malu bercampur geram sebagai bangsa Indonesia.
Singkat cerita begini. Setahun yang lalu Poeze datang ke Jakarta meluncurkan buku tentang kehidupan terakhir Tan Malaka (Verguis en Vergeten, dihujat dan dilupakan). Di sana Poeze membuka misteri kematian Tan Malaka, termasuk soal waktu, tempat, dan nama orang yang mengeksekusi Tan Malaka. Terbukalah akhirnya bahwa Tan Malaka ditembak di Desa Selopanggung, Lereng Gunung Wilis, Kediri, pada tanggal 21 Februari 1949, oleh Soekotjo. Soekotjo adalah anggota Kesatuan Macan Kerah pimpinan Surachmat. Soekotjo ini kemudian menjadi Walikota Surabaya (tahunnya saya lupa). Buku setebal 2000 halaman itu sedang diterjemahkan oleh Hesri Setiawan. Mungkin 250 halaman pertama akan terbit dalam bahasa Indonesia bulan November 2008.
OK. Balik lagi. Saya bukan hendak menulis misteri kematian TM. Setelah peluncuran buku itu, Poeze bertemu dengan Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah. Dalam pertemuan, Bachtiar berjanji membantu pembiayaan riset untuk memastikan kuburan Tan Malaka. Kerjaan pemerintah tidak lagi berat, enteng saja. Pooeze sudah membuka jalan yang sangat terang. Bahkan ia sudah memerkirakan lokasi seluas 100 m2 sebagai tempat penguburan Tan Malaka. Namun, untuk memastikannya perlu riset yang serius dengan melibatkan ahli tanah, ahli forensik, dan juga tes DNA. Kebetulan dua orang keponakan langsung Tan Malaka (Zulfikar dan Ida Munir) masih hidup, so, tes DNA terhadap sisa-sisa fosil yg ditemukan masih bisa dilakukan.
Yang jadi soal adalah, ternyata gerak pemerintah Indonesia dalam memastikan kuburan seorang pahlawan kemerdekaan nasioanl lambat sekali. Sejak pertemuan dengan menteri sosial pertengahan 2007 lalu, sudah dua kali Poeze ke Jakarta. Gerak selangkah pun ternyata belum ada. Kalo soal sejarah kaya gini sepertinya ga bakal seksi. Mungkin yang seksi (kalo ngutip salah satu teman di milis sebelah, Baca: “erotis” he..he ) cuma urusan Pemilu dan Pilkada.
Beberapa waktu lalu, tim pencarian kubur Tan Malaka yang dibentuk oleh keluarga dan sisa-sia pengikut TM bertemu kembali dengan Pejabat di Direktorat Kepahlawanan Depsos. Jawaban yang diberikan sungguh kurang ajar. Menurut Ketua dan Sekretaris Tim (Zulfikar dan DP ASral), Depsos bilang kalau tidak ada mata anggaran untuk memastikan kuburan Tan Malaka. Kalau sudah ketemu dan pasti, baru bisa keluar dana untuk memugar dan memindahkan kuburannya. Intinya..tetap ga akan ada bantuan pemerintah untuk memastikan kuburan seorang pahlawan. Weleh..weleh..Mereka cuma mau enaknya aja. Bagi pemerintah/pejabat kita mungkin harga sejarah sama dengan setangguk ikan teri. Dibuang pun ga masalah.
Saya malu sekali pernyataan seperti itu akhirnya sampai ke telinga Poeze. Mau ga mau, malu ga malu, tim pencari kubur itu akhirnya curhat juga. Kalau muka bisa dipindah ke pantat, mungkin sudah saya lakukan.
Berkali-kali Poeze mengulang-ulang pernyataan Menteri Sosial setahun yang lalu. ” Pemerintah Indonesia harusnya yang bertanggung jawab memastikan kuburan Tan Malaka, dan bapak Menteri sudah berjanji” Begitu dia mengulang-ulang. Duh, Poeze kesannya naif sekali. Sampai akhirnya saya bilang; “Di sini berbeda. jangan terlalu percaya sama janji pejabat di Indonesia. Hari ini dia berjanji, besok pasti sudah lupa”. Tampak sekali Poeze gusar. Tampak juga bahwa sekitar 20-an orang yg hadir waktu itu juga malu besar.
Poeze sudah menghabiskan 30 hidupnya untuk meneliti, menyusun puzzle kehidupan dan kematian Tan Malaka yang penuh misteri. Sampai akhirnya dia berhasil menemukan titik terang. Kita, orang Indonesia tinggal membaca, berdiskusi dan berdebat.
Saya tahu, sebagian besar riset terakhirnya, termasuk bolak-balik Indonesia dijalani dengan biaya sendiri. Bukan berasal dari bantuan lembaga yang dipimpinnya. Padahal, gajinya sudah dipotong 40% untuk pajak di negerinya.
Saya rasa Poeze juga ingin melihat keseriusan pemerintah kita. “Saya punya ongkos untuk berjalan sendiri. Tidak perlu menanggung biaya perjalanan saya. Tetapi untuk penyelidikan kuburan harus dilakukan dan dibiayai oleh pemerintah Indonesia,” begitu Poeze mengeluarkan unek-uneknya. Saya cari-cari lagi muka saya, ternyata masih bertengger di atas leher..
Akhirnya, saya mengusulkan kepada tim untuk tidak lagi bergantung sama pemerintah. Saya minta mereka membuat proposal dan juga rincian biaya untuk menggali dan memastikan kuburan TM. Saya yakin masih ada orang-yang peduli dengan sejarah dan bersedia membantu, meski tidak sebesar anggaran yang biasanya keluar dari kocek pemerintah.
Akhirnya, sampailah saya pada maksud yang sebenarnya..he..he. Jika ada di antara pembaca blog ini yang masih punya kepedulian terhadap sejarah, atau punya simpati terhadap Tan Malaka, mungkin bisa ikut membantu. Jika anda bersedia, mohon hubungi saya via japri di datuakrajoangek@yahoo.com atau 081511470144. Jika anda berkenan, tolong beri nomor kontak anda, dan izinkan saya memberikan nomor kontak itu kepada Tim Pencarian Makam TM. Mereka nanti yang akan melakukan kontak.
Ahh…sedikit lega…Akhirnya unek-unekku sudah keluar. Untung tidak telanjur jadi jerawat. Maaf kalau ngaco dan ga sistematis. Semoga berkenan
Tan Malaka seorang pemikir hebat
ReplyDeleteJejak langkah Tan Malaka yang tidak mencari materi perlu diteladani, komentar balik ya ke blog saya www.goocap.com
ReplyDelete