Author: Hasan Nasbi
Hari Selasa (19/2/2008) aku diminta oleh sekelompok mahasiswa untuk berbicara pada peringatan hilangnya Tan Malaka yang ke 59. Ya, 59 tahun lalu Tan Malaka dinyatakan hilang. Sampai tahun 2007, para pengikut dan pengagum Tan Malaka, termasuk para sejarawan masih percaya bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 19 Februari 1949 lalu mayatnya dibuang ke Kali Brantas.
Sampai akhirnya, pada pertengahan tahun 2007, Harry A Poeze datang ke Indonesia sambil meluncurkan buku keduanya tentang Tan Malaka (Verguisd en Vergeten). Kalau bahasa kite artinya Dihujat dan Dilupakan. Dalam buku itu, Poeze menyatakan dengan keyakinan 99,99% bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949, di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selo Panggung.
Meskipun tanggal kematian Tan Malaka sudah diketahui, ternyata para pengikut Tan Malaka (khususnya di Jakarta) tahun ini masih melakukan peringatan pada tanggal 19 Februari. Sudahlah, namanya juga kebiasaan setiap tahun. Ya sudahlah. Toh, tidak salah juga. Khan, yang diperingati adalah hari hilangnya Tan Malaka.
Kembali ke soal acara tadi. Ini adalah acara peringatan kedua yang dilakukan di Universitas Indonesia. Peringatan pertama diadakan pada tanggal 19 Februari 2004, di Gedung Pusat Antar Universitas Univesitas Indonesia. Penyelengaranya adalah Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) Eka Prasetya Universitas Indonesia. Kebetulan para pengurusnya adalah adik-adikku di HMI UI. Jadi, dalam batasan tertentu, “bisa diarahkan” untuk menyelenggarakan acara ini bekerja sama dengan LPPM Tan Malaka.
Seingatku, beberapa hari (atau sehari?) setelah acara tahun 2004 itu, pengurus KSM dipanggil oleh salah seorang pejabat di Rektorat UI. Mereka diperingatkan agar hati-hati terhadap infiltrasi ideologi tertentu di dalam kampus..hehe..itu paranoid apa guoblok yah? Ups..ngelantur lagi.. OK deh, balik lagi..sekarang serius cerita tentang acara tadi.
Sebenarnya aku gak terlalu semangat unutk berbicara di forum itu. Pasalnya sederhana. Aku mendengar salah seorang dosen di FISIP UI juga mau mengadakan acara serupa tanggal 28 Februari dengan menghadirkan Poeze, sekembalinya Poeze dari Suliki, Kampung halamannya Tan Malaka. Nah, buat apa ada dua acara yang mirip, dalam waktu berdekatan, dan di kampus yang sama? Toh, yang berminat terhadap Tan Malaka juga cuma itu-itu saja? Tapi dasar orang-orang tua golongan kiri memang suka berpecah-belah (yang muda juga gitu). Mereka memaksa adik-adik mahasiswa untuk terus mengadakan acara ini. Gak mau ngalah sama acara orang lain. Gengsi kalau harus gabung. Seolah-oleh eksistensinya hancur kalau gabung sama acara orang lain. Kaya gerombolan demo aja..susah diajak gabung kalau ketemu di jalan. Padahal isunya sama. Yang jadi persoalan adalah siapa inisiator dan siapa followers..fhhh cape deh…gitu aja kok repot..
Namun, apa boleh buat, ketua panitianya adalah adikku. Dia memang lagi semangat berorganisasi. Gak enak kalau bikin dia patah semangat. Rencananya, Budiman Sudjatmiko., Eros Djarot, dan Ade Daud Nasution (Anggota DPR RI) juga akan jadi pembicara. Hasilnya..cuma Ade Nasution yang hadir. Budiman tiba-tiba sakit flu dan membatalkan kehadiran satu jam sebelum acara. Sementara itu, Eros Djarot tanpa kabar sama sekali. Jadilah aku, Pak Asral (Ketua LPPM), dan Ade Daud Nasution yang jadi pembicara di depan. Lha pertanyaanya kenapa harus aku? Katanya sih biar ada perwakilan orang muda yang pernah menulis tentang Tan Malaka. Yo wis, itung-itung menjajal tingkat percaya diri.
Untunglah ada Ade Nasution. Meskipun ngomongnya agak ngalor-ngidul, teteup wae dia anggota DPR. Acara ini masih ada gengsinya. Orang pasti mau mendengar kalau yang ada di depan adalah orang yang namanya lumayan sering didengar. Lha kita..? Meskipun udah dikonsep matang-matang, teteup kaga ada yang kenal. Ya toh?? He..he ini bentuk ketidak-PeDe-anku saat tampil. Siapa yang mau dengar? Gw..bukan siapa-siapa..gak terkenal..trus ngasih ceramah di depan orang-orang tentang Tan Malaka. Takutnya ntar gw malah disambit pake sepatu…he..he
Sepanjang sesi tanya jawab, ada satu pertanyaan yang membuatku meringis untuk kesekian kalinya. Pertanyaan kaya gini sudah sering aku dapatkan, dan seperti biasa, ada rasa kesal setiap kali menjawab pertanyaan seperti. Inti pertanyaan itu gini,” Bagaimana sih sikap ketuhanan Tan Malaka? Kalau dulu-dulu ada yang bertanya, ”Tan Malaka itu Islam atau Atheis?” Bahkan saat sidang skripsi, pengujiku, yang saat ini sudah jadi Ph.D, juga ngajak berdebat soal keislaman Tan Malaka. Padahal, buatku itu gak relevan sama sekali. Mau Islam atau tidak, itu suka-sukanya Tan Malaka aja.
Sebenarnya, pertanyaan seperti ini bisa dengan mudah dijawab. Tentu saja berdasarkan penilaianku terhadap jalan hidup dan gagasan Tan Malaka. Orang lain bisa saja punya penilaian berbeda. Namun kalau mau utuh dan jujur membaca buku-buku Tan Malaka (terutama MADILOG) niscaya setuju dengan penilaianku…he..he (PeDe amat yah?? please jangan disambit yah…)
Buatku, Tan Malaka sangat mudah untuk diidentifikasi dalam soal Agama dan Tuhan. Tan Malaka adalah materialis sejati. Mistik, dalam bahasa MADILOG disebut mistika, adalah haram. Segala macam mistik, atas nama apa pun juga. Segala yang berbau rohani tidak bisa diterima akal sehat. Dan mistika terbesar bagi umat manusia adalah Tuhan. Tan Malaka berfikir seperti itu.
Coba baca halaman-halaman awal Madilog. Ada cerita tentang Dewa Ra dari Mesir saat menciptakan alam semesta. Sekali berucap “Ptah” maka Dewa Ra berhasil menciptkan Sungai Nil, hamparan padang pasir, dan alam semesta, termasuk makhluk hidup di dalamnya. Pada halaman berikutnya, habislah cerita Dewa Ra ini dicela oleh Tan Malaka berdasarkan hukum-hukum físika dan kimia. Meskipun bukan ahlinya, Tan Malaka bersemangat sekali membantah kejadian alam semesta seperti dalam cerita Dewa Ra tadi.
Nah, mari akal sehat kita diajak berfikir sedikit. But, jangan sentimen dulu! Kalau Dewa Ra itu diganti dengan “Allah” dan “Ptah” itu kita ganti dengan “Kun Fa Yakun”..apa yang ada dalam kepala anda? Kalau MADILOG memang ingin dijadikan sebagai senjata berfikir bangsa Indonesia, lalu apa arti penjabaran Tan Malaka di atas? Buat apa dia susah-susah harus membongkar kepercayaan mendasar bangsa Indonesia tentang ketuhanan? Jawabannya, karena materialisme, menurut Tan Malaka, ádalah dasar berfikir yang benar. Tidak ada tempat untuk metafísika (Tan Malaka menganggapnya sama dengan idealisme). Yakinlah bahwa Tan Malaka menggunakan Dewa Ra hanya sebagai siasat. Sebab, jika langsung dengan menyebut Allah, umat akan terjauhkan dari semangat revolusi.
Banyak orang yang mengatakan bahwa Tan Malaka itu Islam. Mereka memberikan alasan bahwa Tan Malaka adalah pembela gerakan Pan Islami di Timur Tengah dalam sidang Komintern tahun 1922. Lalu Tan Malaka juga memuji-muji Islam dalam Islam Dalam Tinjauan MADILOG sebagai salah satu Bab MADILOG. Ada juga cerita tentang Tan Malaka yang selalu menangis ketika Ibunya dulu bercerita tentang kisah para nabi. Menurut orang-orang (termasuk beberapa orang yang bergelar Master dan Ph. D) itu adalah tanda –tanda bahwa Tan Malaka adalah seorang penganut Islam. Kasian…sepertinya mereka hanya baca beberapa buku dan itu pun tidak tuntas.
Nah inilah pangkal bala dari pertanyaan soal agama dan sikap ketuhanan Tan Malaka. Pertanyaan tentang agama Tan Malaka bukan pertanyaan yang bebas nilai. Ia adalah pertanyaan yang nantinya akan bersangkut paut dengan penilaian terhadap gagasan Tan Malaka. Jika dia Islam, maka dia harus dikagumi dan dijadikan idola. Sementara itu, seandainya dia ternyata ateis, maka Tan Malaka harus dihujat dan disalahkan. Pemikirannya bisa dianggap jahat dan berbahaya
Benar bahwa Tan Malaka sangat dekat dengan kelompok Islam. Benar pula Tan Malaka berasal dari keluarga yang taat beragama. Bahkan, bapaknya adalah orang tarekat. Benar pula bahwa Tan Malaka mengagumi Muhammad , Isa , dan Musa. Terakhir, juga benar bahwa Tan Malaka tidak konfrontataif terhadap agama sebagaimana kaum kiri lainnya.
Semua pernyataan benar di atas tentu tidak dapat dijadikan kesimpulan bahwa Tan Malaka adalah seorang Islam. Ada pula Doktor yang menyebutnya Islam Kiri atau Kiri Islam. Di sinilah letak kekeliruan itu.
Harus dipahami, saat itu Tan Malaka melihat bahwa bangsa-bangsa Islam di Asia sebagai faktor revolusi untuk mengusir imperialis-kapitalis Eropa dan Jepang. Ini logis dalam cara berfikir dia. Kalau di Indonesia, revolusi meninggalkan atau memusuhi kalangan Islam, revolusinya pasti gagal karena kekurangan syarat dukungan. Bagaimana mungkin bagian terbesar dari sebuah bangsa tidak dijadikan faktor revolusi? Dalam tulisannya yang lain Tan Malaka yakin seyakin-yakinnya bahwa suatu saat faktor revolusi yang belum jadi kiri akan menjadi kiri dengan sendirinya, setelah merasakan manfaat dari sebuah negara revolusi yang dikendalikan oleh kelas pekerja.
Soal Islam dalam Tinjauan Madilog dan kekagumannya terhadap para nabi adalah soal yang wajar. Harus diingat Islam dalam Tinjauan Madilog tidak satu patah kata pun membenarkan Islam. Hanya saja, dia mengagumi Muhammad sebagi seorang pembebas. Nah, kalau para penemu berhak meberi nama temuannya sesuka hati? Kenapa Muhammad tidak boleh memberi nama ajaran barunya (temuannya) dengan nama Islam (Keselamatan)? Harus diakui bahwa Muhammad adalah manusia paling besar sepanjang sejarah umat manusia. Namun, kekaguman Tan Malaka terhadap para nabi hanya sebatas kapasitas mereka sebagai manusia, bukan dalam konteks wahyu yang dianggap mistik dan tidak masuk akal oleh MADILOG. Baca beberapa Bab dalam Buku dari Penjara ke Penjara tentang pandangan hidup, ada juga di beberapa tulisan atau brosur lain..saat Tan Malaka menjelaskan tentang asal-usul agama menurut pandangannya. Ujung kesimpulan Tan Malaka adalah bahwa agama itu muncul hanya sebagai buah ketakutan manusia.
Problem konklusi kita adalah menganggap orang yang simpati terhadap Islam sebagai orang Islam. Kalau begitu kita harus kerepotan untuk mengidentifikasi Annie Schimmel dan Karen Amsptrong..he..he
Itu pula yang dilekatkan terhadap Tan Malaka. Lagi pula, sebagian besar di antara kita, termasuk intelektual bergelar Doktor, masih sangat terikat dengan sentimen primordial seperti agama dan etnis. Ada stereotipe khusus yang dilekatkan kepada golongan tertentu. Jika Tan Malaka adalah Minangkabau dan Islam..wah..luar biasa tokoh ini. Namun, jika dia ateis…phhh…turun deh nilainya. Bisa-bisa malah dibenci. Inilah yang disebutkan oleh Tan Malaka sebagai salah satu kesalahan dalam berfikir. Namanya Ignoratio Elenchi. Bahasa kitanya.”.kaga ada relevansinya Bung!”. Penilaian terhadap Tan Malaka akhirnya harus disangkut pautkan dengan privasinya. Yang dilihat bukan lagi benar atau tidaknya, bagus atau jeleknya gagasan Tan Malaka, tetapi lebih banyak tentang identitas ke-Islaman Tan. Akhirnya yang digugat bukan lagi soal gagasan, tetapi soal agamanya. Karena dia ateis..maka gagasan Tan Malaka adalah salah dan jahat..he..he ngaco khan silogismenya? Contoh sederhananya begini. Anda tidak percaya dengan saya karena hidung saya panjang dan bengkok. Jadi apapun gagasan saya sudah salah seketika anda tahu bentuk hidung saya. Geblek khan?? Nah gitu juga biasanya kalau orang nanya-nanya soal agama Tan Malaka. Tan Malaka jadi seketika menadi tokoh antagonis kalau harus dikatakan tidak beragama. Orang-orang itu maunya begini, setidaknya mereka tidak harus merasa berdosa mengagumi Tan, jika Tan Beragama Islam..
So, buat anda pengagum Tan Malaka, terima sajalah kalau beliau adalah ateis sejati. Cuma dia juga tidak ingin begitu saja meniadakan agama. Agama adalah urusan pribadi, tidak boleh dicampuri oleh negara maupun oleh kelompok. Kalaupun muncul persekutuan pada agama-agama tertentu., biarkan saja, tetapi negara tidak boleh turut campur, termasuk membiayainya…Ini bukan berarti dia beragama, melainkan paham kondisi sosial Indonesia. Berbeda dengan kiri lainnya yang selalu ngajak orang-orang beragama berantem. Kalau pegangan hidup yang benar, menurut Tan Malaka mah teteup wae tanpa ada mistik-mistikan…termasuk mistik tentang Dewa dan Tuhan..
Hari Selasa (19/2/2008) aku diminta oleh sekelompok mahasiswa untuk berbicara pada peringatan hilangnya Tan Malaka yang ke 59. Ya, 59 tahun lalu Tan Malaka dinyatakan hilang. Sampai tahun 2007, para pengikut dan pengagum Tan Malaka, termasuk para sejarawan masih percaya bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 19 Februari 1949 lalu mayatnya dibuang ke Kali Brantas.
Sampai akhirnya, pada pertengahan tahun 2007, Harry A Poeze datang ke Indonesia sambil meluncurkan buku keduanya tentang Tan Malaka (Verguisd en Vergeten). Kalau bahasa kite artinya Dihujat dan Dilupakan. Dalam buku itu, Poeze menyatakan dengan keyakinan 99,99% bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949, di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selo Panggung.
Meskipun tanggal kematian Tan Malaka sudah diketahui, ternyata para pengikut Tan Malaka (khususnya di Jakarta) tahun ini masih melakukan peringatan pada tanggal 19 Februari. Sudahlah, namanya juga kebiasaan setiap tahun. Ya sudahlah. Toh, tidak salah juga. Khan, yang diperingati adalah hari hilangnya Tan Malaka.
Kembali ke soal acara tadi. Ini adalah acara peringatan kedua yang dilakukan di Universitas Indonesia. Peringatan pertama diadakan pada tanggal 19 Februari 2004, di Gedung Pusat Antar Universitas Univesitas Indonesia. Penyelengaranya adalah Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) Eka Prasetya Universitas Indonesia. Kebetulan para pengurusnya adalah adik-adikku di HMI UI. Jadi, dalam batasan tertentu, “bisa diarahkan” untuk menyelenggarakan acara ini bekerja sama dengan LPPM Tan Malaka.
Seingatku, beberapa hari (atau sehari?) setelah acara tahun 2004 itu, pengurus KSM dipanggil oleh salah seorang pejabat di Rektorat UI. Mereka diperingatkan agar hati-hati terhadap infiltrasi ideologi tertentu di dalam kampus..hehe..itu paranoid apa guoblok yah? Ups..ngelantur lagi.. OK deh, balik lagi..sekarang serius cerita tentang acara tadi.
Sebenarnya aku gak terlalu semangat unutk berbicara di forum itu. Pasalnya sederhana. Aku mendengar salah seorang dosen di FISIP UI juga mau mengadakan acara serupa tanggal 28 Februari dengan menghadirkan Poeze, sekembalinya Poeze dari Suliki, Kampung halamannya Tan Malaka. Nah, buat apa ada dua acara yang mirip, dalam waktu berdekatan, dan di kampus yang sama? Toh, yang berminat terhadap Tan Malaka juga cuma itu-itu saja? Tapi dasar orang-orang tua golongan kiri memang suka berpecah-belah (yang muda juga gitu). Mereka memaksa adik-adik mahasiswa untuk terus mengadakan acara ini. Gak mau ngalah sama acara orang lain. Gengsi kalau harus gabung. Seolah-oleh eksistensinya hancur kalau gabung sama acara orang lain. Kaya gerombolan demo aja..susah diajak gabung kalau ketemu di jalan. Padahal isunya sama. Yang jadi persoalan adalah siapa inisiator dan siapa followers..fhhh cape deh…gitu aja kok repot..
Namun, apa boleh buat, ketua panitianya adalah adikku. Dia memang lagi semangat berorganisasi. Gak enak kalau bikin dia patah semangat. Rencananya, Budiman Sudjatmiko., Eros Djarot, dan Ade Daud Nasution (Anggota DPR RI) juga akan jadi pembicara. Hasilnya..cuma Ade Nasution yang hadir. Budiman tiba-tiba sakit flu dan membatalkan kehadiran satu jam sebelum acara. Sementara itu, Eros Djarot tanpa kabar sama sekali. Jadilah aku, Pak Asral (Ketua LPPM), dan Ade Daud Nasution yang jadi pembicara di depan. Lha pertanyaanya kenapa harus aku? Katanya sih biar ada perwakilan orang muda yang pernah menulis tentang Tan Malaka. Yo wis, itung-itung menjajal tingkat percaya diri.
Untunglah ada Ade Nasution. Meskipun ngomongnya agak ngalor-ngidul, teteup wae dia anggota DPR. Acara ini masih ada gengsinya. Orang pasti mau mendengar kalau yang ada di depan adalah orang yang namanya lumayan sering didengar. Lha kita..? Meskipun udah dikonsep matang-matang, teteup kaga ada yang kenal. Ya toh?? He..he ini bentuk ketidak-PeDe-anku saat tampil. Siapa yang mau dengar? Gw..bukan siapa-siapa..gak terkenal..trus ngasih ceramah di depan orang-orang tentang Tan Malaka. Takutnya ntar gw malah disambit pake sepatu…he..he
Sepanjang sesi tanya jawab, ada satu pertanyaan yang membuatku meringis untuk kesekian kalinya. Pertanyaan kaya gini sudah sering aku dapatkan, dan seperti biasa, ada rasa kesal setiap kali menjawab pertanyaan seperti. Inti pertanyaan itu gini,” Bagaimana sih sikap ketuhanan Tan Malaka? Kalau dulu-dulu ada yang bertanya, ”Tan Malaka itu Islam atau Atheis?” Bahkan saat sidang skripsi, pengujiku, yang saat ini sudah jadi Ph.D, juga ngajak berdebat soal keislaman Tan Malaka. Padahal, buatku itu gak relevan sama sekali. Mau Islam atau tidak, itu suka-sukanya Tan Malaka aja.
Sebenarnya, pertanyaan seperti ini bisa dengan mudah dijawab. Tentu saja berdasarkan penilaianku terhadap jalan hidup dan gagasan Tan Malaka. Orang lain bisa saja punya penilaian berbeda. Namun kalau mau utuh dan jujur membaca buku-buku Tan Malaka (terutama MADILOG) niscaya setuju dengan penilaianku…he..he (PeDe amat yah?? please jangan disambit yah…)
Buatku, Tan Malaka sangat mudah untuk diidentifikasi dalam soal Agama dan Tuhan. Tan Malaka adalah materialis sejati. Mistik, dalam bahasa MADILOG disebut mistika, adalah haram. Segala macam mistik, atas nama apa pun juga. Segala yang berbau rohani tidak bisa diterima akal sehat. Dan mistika terbesar bagi umat manusia adalah Tuhan. Tan Malaka berfikir seperti itu.
Coba baca halaman-halaman awal Madilog. Ada cerita tentang Dewa Ra dari Mesir saat menciptakan alam semesta. Sekali berucap “Ptah” maka Dewa Ra berhasil menciptkan Sungai Nil, hamparan padang pasir, dan alam semesta, termasuk makhluk hidup di dalamnya. Pada halaman berikutnya, habislah cerita Dewa Ra ini dicela oleh Tan Malaka berdasarkan hukum-hukum físika dan kimia. Meskipun bukan ahlinya, Tan Malaka bersemangat sekali membantah kejadian alam semesta seperti dalam cerita Dewa Ra tadi.
Nah, mari akal sehat kita diajak berfikir sedikit. But, jangan sentimen dulu! Kalau Dewa Ra itu diganti dengan “Allah” dan “Ptah” itu kita ganti dengan “Kun Fa Yakun”..apa yang ada dalam kepala anda? Kalau MADILOG memang ingin dijadikan sebagai senjata berfikir bangsa Indonesia, lalu apa arti penjabaran Tan Malaka di atas? Buat apa dia susah-susah harus membongkar kepercayaan mendasar bangsa Indonesia tentang ketuhanan? Jawabannya, karena materialisme, menurut Tan Malaka, ádalah dasar berfikir yang benar. Tidak ada tempat untuk metafísika (Tan Malaka menganggapnya sama dengan idealisme). Yakinlah bahwa Tan Malaka menggunakan Dewa Ra hanya sebagai siasat. Sebab, jika langsung dengan menyebut Allah, umat akan terjauhkan dari semangat revolusi.
Banyak orang yang mengatakan bahwa Tan Malaka itu Islam. Mereka memberikan alasan bahwa Tan Malaka adalah pembela gerakan Pan Islami di Timur Tengah dalam sidang Komintern tahun 1922. Lalu Tan Malaka juga memuji-muji Islam dalam Islam Dalam Tinjauan MADILOG sebagai salah satu Bab MADILOG. Ada juga cerita tentang Tan Malaka yang selalu menangis ketika Ibunya dulu bercerita tentang kisah para nabi. Menurut orang-orang (termasuk beberapa orang yang bergelar Master dan Ph. D) itu adalah tanda –tanda bahwa Tan Malaka adalah seorang penganut Islam. Kasian…sepertinya mereka hanya baca beberapa buku dan itu pun tidak tuntas.
Nah inilah pangkal bala dari pertanyaan soal agama dan sikap ketuhanan Tan Malaka. Pertanyaan tentang agama Tan Malaka bukan pertanyaan yang bebas nilai. Ia adalah pertanyaan yang nantinya akan bersangkut paut dengan penilaian terhadap gagasan Tan Malaka. Jika dia Islam, maka dia harus dikagumi dan dijadikan idola. Sementara itu, seandainya dia ternyata ateis, maka Tan Malaka harus dihujat dan disalahkan. Pemikirannya bisa dianggap jahat dan berbahaya
Benar bahwa Tan Malaka sangat dekat dengan kelompok Islam. Benar pula Tan Malaka berasal dari keluarga yang taat beragama. Bahkan, bapaknya adalah orang tarekat. Benar pula bahwa Tan Malaka mengagumi Muhammad , Isa , dan Musa. Terakhir, juga benar bahwa Tan Malaka tidak konfrontataif terhadap agama sebagaimana kaum kiri lainnya.
Semua pernyataan benar di atas tentu tidak dapat dijadikan kesimpulan bahwa Tan Malaka adalah seorang Islam. Ada pula Doktor yang menyebutnya Islam Kiri atau Kiri Islam. Di sinilah letak kekeliruan itu.
Harus dipahami, saat itu Tan Malaka melihat bahwa bangsa-bangsa Islam di Asia sebagai faktor revolusi untuk mengusir imperialis-kapitalis Eropa dan Jepang. Ini logis dalam cara berfikir dia. Kalau di Indonesia, revolusi meninggalkan atau memusuhi kalangan Islam, revolusinya pasti gagal karena kekurangan syarat dukungan. Bagaimana mungkin bagian terbesar dari sebuah bangsa tidak dijadikan faktor revolusi? Dalam tulisannya yang lain Tan Malaka yakin seyakin-yakinnya bahwa suatu saat faktor revolusi yang belum jadi kiri akan menjadi kiri dengan sendirinya, setelah merasakan manfaat dari sebuah negara revolusi yang dikendalikan oleh kelas pekerja.
Soal Islam dalam Tinjauan Madilog dan kekagumannya terhadap para nabi adalah soal yang wajar. Harus diingat Islam dalam Tinjauan Madilog tidak satu patah kata pun membenarkan Islam. Hanya saja, dia mengagumi Muhammad sebagi seorang pembebas. Nah, kalau para penemu berhak meberi nama temuannya sesuka hati? Kenapa Muhammad tidak boleh memberi nama ajaran barunya (temuannya) dengan nama Islam (Keselamatan)? Harus diakui bahwa Muhammad adalah manusia paling besar sepanjang sejarah umat manusia. Namun, kekaguman Tan Malaka terhadap para nabi hanya sebatas kapasitas mereka sebagai manusia, bukan dalam konteks wahyu yang dianggap mistik dan tidak masuk akal oleh MADILOG. Baca beberapa Bab dalam Buku dari Penjara ke Penjara tentang pandangan hidup, ada juga di beberapa tulisan atau brosur lain..saat Tan Malaka menjelaskan tentang asal-usul agama menurut pandangannya. Ujung kesimpulan Tan Malaka adalah bahwa agama itu muncul hanya sebagai buah ketakutan manusia.
Problem konklusi kita adalah menganggap orang yang simpati terhadap Islam sebagai orang Islam. Kalau begitu kita harus kerepotan untuk mengidentifikasi Annie Schimmel dan Karen Amsptrong..he..he
Itu pula yang dilekatkan terhadap Tan Malaka. Lagi pula, sebagian besar di antara kita, termasuk intelektual bergelar Doktor, masih sangat terikat dengan sentimen primordial seperti agama dan etnis. Ada stereotipe khusus yang dilekatkan kepada golongan tertentu. Jika Tan Malaka adalah Minangkabau dan Islam..wah..luar biasa tokoh ini. Namun, jika dia ateis…phhh…turun deh nilainya. Bisa-bisa malah dibenci. Inilah yang disebutkan oleh Tan Malaka sebagai salah satu kesalahan dalam berfikir. Namanya Ignoratio Elenchi. Bahasa kitanya.”.kaga ada relevansinya Bung!”. Penilaian terhadap Tan Malaka akhirnya harus disangkut pautkan dengan privasinya. Yang dilihat bukan lagi benar atau tidaknya, bagus atau jeleknya gagasan Tan Malaka, tetapi lebih banyak tentang identitas ke-Islaman Tan. Akhirnya yang digugat bukan lagi soal gagasan, tetapi soal agamanya. Karena dia ateis..maka gagasan Tan Malaka adalah salah dan jahat..he..he ngaco khan silogismenya? Contoh sederhananya begini. Anda tidak percaya dengan saya karena hidung saya panjang dan bengkok. Jadi apapun gagasan saya sudah salah seketika anda tahu bentuk hidung saya. Geblek khan?? Nah gitu juga biasanya kalau orang nanya-nanya soal agama Tan Malaka. Tan Malaka jadi seketika menadi tokoh antagonis kalau harus dikatakan tidak beragama. Orang-orang itu maunya begini, setidaknya mereka tidak harus merasa berdosa mengagumi Tan, jika Tan Beragama Islam..
So, buat anda pengagum Tan Malaka, terima sajalah kalau beliau adalah ateis sejati. Cuma dia juga tidak ingin begitu saja meniadakan agama. Agama adalah urusan pribadi, tidak boleh dicampuri oleh negara maupun oleh kelompok. Kalaupun muncul persekutuan pada agama-agama tertentu., biarkan saja, tetapi negara tidak boleh turut campur, termasuk membiayainya…Ini bukan berarti dia beragama, melainkan paham kondisi sosial Indonesia. Berbeda dengan kiri lainnya yang selalu ngajak orang-orang beragama berantem. Kalau pegangan hidup yang benar, menurut Tan Malaka mah teteup wae tanpa ada mistik-mistikan…termasuk mistik tentang Dewa dan Tuhan..
No comments:
Post a Comment