Author: Hasan Nasbi
Banyak pengamat mengeluhkan nama-nama kandidat yang beredar untuk pemilihan presiden 2009 nanti. Sebab, seluruhnya masih berkutat pada nama-nama lama. Mereka adalah orang-orang yang pernah menjadi the ruling elite negeri ini. Namun selama berkuasa, mereka tidak membawa perbaikan berarti.
Jumlah kanddidat presiden sangat terbatas dan nama yang muncul itu-itu lagi. Bila sepuluh jari kita mainkan, niscaya tidak akan habis untuk menyebutkan nama mereka satu per satu. Sebut saja nama seperti SBY, Megawati, Amien Rais, Wiranto, Sutiyoso, Jusuf Kalla. Mungkin juga muncul nama seperti Sri Sultan dari Yogya sana. Tokoh ini berasal dari daerah dan terkesan agak ”segar” dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang pernah eksis di Jakarta. Hanya saja, Sultan ini tidak cocok hidup di alam demokrasi. Sulit mengharapkan dia muncuk sebagai pemimpin yang demokratis, inovatif, dan penuh terobosan. Dia tetap datang dengan mewaikili cara berfikir lama, raja jawa yang naik tahta ke tingkat nasional. Soeharto pun selama kepemimpinannya juga memosisikan diri menjadi raja jawa.
Lalau kenapa hal itu bisa sampai terjadi? Kenapa nama-nama yang akan meramaikan bursa presiden hanya itu-itu saja, seolah-olah lebih dari 200 juta lebih rakyat Indonesia hanya menghasilkan kurang dari 10 orang yang layak jadi presiden? Lebih parah lagi, tidak ada dari kandidat tersebut yang pernah sukses memperbaiki tata kelola pemerintahan dan juga kualitas hidup masyarakat. Jika salah satunya terpilih menjadi presiden hanya akan melanjutkan siklus penderitaan rakyat dari mulut buaya ke mulut harimau, masuk ke mulut ular, lalu ke mulutnya Tukul.. (he..he sorry kul!)
Setidaknya dua hal yang menyebabkan hal ini terjadi. Faktor pertama adalah proses politik Indonesia masih terlalu berpusat di Jakarta. Politisi atau pemimpin yang dianggap handal hanya orang-orang yang sudah berhasil eksis menaklukkan Jakarta. Akibatnya, terminologi ”tokoh nasional” dan ”tokoh lokal” itu sangat jelas membekas di kepala kita. Ini sangat bias. Pencarian kandidat presiden akhirnya hanya terpusat pada lingkaran ”tokoh nasional” tadi.
Penyebab kedua adalah kelanjutan dari faktor pertama. Ini soal publikasi media. Oleh karena kita menganggap subyek proses politik nasional hanyalah aktor-aktor di Jakarta, pemberitaan atau publikasi media yang mencitrakan tokoh tokoh politik juga hanya berputar di Jakarta. Silahkan periksa pemberitaan media nasional maupun lokal, pasti hanya memasukkan ”tokoh nasional” sebagai calon presiden. Akhirnya, partai maupun masyarakat awam termakan konstruksi pemberitaan. Alam pikiran mereka juga hanya menangkap bahwa hanya orang Jakarta yang berhak jadi presiden.
Padahal, banyak best practices kepemimpinan dan pemerintahan di daerah yang sangat baik. Praktek kepemimpinan tersebut bisa dijadikan isnpirasi untuk diterapkan di daerah lain, bahkan juga bisa dijadikan inspirasi untuk diterapkan di tingkat nasional. Ada belasan kepala daerah di tingkat kabupaaten/kota, dan dua kepala daerah di tingkat provinsi yang bisa dikatakan sukses. Mereka tidak hanya berhasil menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik tetapi juga sukses meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.
Media dan juga para akademisi perlu didorong untuk ikut mempublikasikan tokoh-tokoh yang berhasil di daerahnya. Ini berguna agar masyarakat dan partai sadar bahwa banyak potensi pemimpin berkualitas di daerah-daerah. Mereka tidak lagi sekadar berjanji tetapi sudah menyajikan bukti. Kepemimipinan orang-orang yang dianggap tokoh lokal itu sudah terbukti mampu memperbaiki tata kelola pemerintahan dan juga memperbaiki kehidupan masyarakat. Bukan tidak mungkin mereka mampu mencobanya di tingkat nasional. Peluang maju menjadi presiden/wakil presiden harus dibuka lebar bagi para gubernur yang sukses.
Orang–orang seperti mereka seharusnya di masa depan secara berjenjang menaiki karir kepemimpinan sampai di level kepemimpinan nasional. Tidak berlebihan jika rakyat Indonesia kemudian bermimpi, suatu saat yang berlaga dalam pemilihan presiden adalah para gubernur terpilih. Dengan demikian, calon presiden adalah orang yang sudah teruji. Suskesi kepemimpinan nasional akan lebih segar. Bukan hanya kemudian mempertontonkan elite-elite tua Jakarta berbagi giliran memegang tampuk kekuasaan tertinggi.
Banyak pengamat mengeluhkan nama-nama kandidat yang beredar untuk pemilihan presiden 2009 nanti. Sebab, seluruhnya masih berkutat pada nama-nama lama. Mereka adalah orang-orang yang pernah menjadi the ruling elite negeri ini. Namun selama berkuasa, mereka tidak membawa perbaikan berarti.
Jumlah kanddidat presiden sangat terbatas dan nama yang muncul itu-itu lagi. Bila sepuluh jari kita mainkan, niscaya tidak akan habis untuk menyebutkan nama mereka satu per satu. Sebut saja nama seperti SBY, Megawati, Amien Rais, Wiranto, Sutiyoso, Jusuf Kalla. Mungkin juga muncul nama seperti Sri Sultan dari Yogya sana. Tokoh ini berasal dari daerah dan terkesan agak ”segar” dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang pernah eksis di Jakarta. Hanya saja, Sultan ini tidak cocok hidup di alam demokrasi. Sulit mengharapkan dia muncuk sebagai pemimpin yang demokratis, inovatif, dan penuh terobosan. Dia tetap datang dengan mewaikili cara berfikir lama, raja jawa yang naik tahta ke tingkat nasional. Soeharto pun selama kepemimpinannya juga memosisikan diri menjadi raja jawa.
Lalau kenapa hal itu bisa sampai terjadi? Kenapa nama-nama yang akan meramaikan bursa presiden hanya itu-itu saja, seolah-olah lebih dari 200 juta lebih rakyat Indonesia hanya menghasilkan kurang dari 10 orang yang layak jadi presiden? Lebih parah lagi, tidak ada dari kandidat tersebut yang pernah sukses memperbaiki tata kelola pemerintahan dan juga kualitas hidup masyarakat. Jika salah satunya terpilih menjadi presiden hanya akan melanjutkan siklus penderitaan rakyat dari mulut buaya ke mulut harimau, masuk ke mulut ular, lalu ke mulutnya Tukul.. (he..he sorry kul!)
Setidaknya dua hal yang menyebabkan hal ini terjadi. Faktor pertama adalah proses politik Indonesia masih terlalu berpusat di Jakarta. Politisi atau pemimpin yang dianggap handal hanya orang-orang yang sudah berhasil eksis menaklukkan Jakarta. Akibatnya, terminologi ”tokoh nasional” dan ”tokoh lokal” itu sangat jelas membekas di kepala kita. Ini sangat bias. Pencarian kandidat presiden akhirnya hanya terpusat pada lingkaran ”tokoh nasional” tadi.
Penyebab kedua adalah kelanjutan dari faktor pertama. Ini soal publikasi media. Oleh karena kita menganggap subyek proses politik nasional hanyalah aktor-aktor di Jakarta, pemberitaan atau publikasi media yang mencitrakan tokoh tokoh politik juga hanya berputar di Jakarta. Silahkan periksa pemberitaan media nasional maupun lokal, pasti hanya memasukkan ”tokoh nasional” sebagai calon presiden. Akhirnya, partai maupun masyarakat awam termakan konstruksi pemberitaan. Alam pikiran mereka juga hanya menangkap bahwa hanya orang Jakarta yang berhak jadi presiden.
Padahal, banyak best practices kepemimpinan dan pemerintahan di daerah yang sangat baik. Praktek kepemimpinan tersebut bisa dijadikan isnpirasi untuk diterapkan di daerah lain, bahkan juga bisa dijadikan inspirasi untuk diterapkan di tingkat nasional. Ada belasan kepala daerah di tingkat kabupaaten/kota, dan dua kepala daerah di tingkat provinsi yang bisa dikatakan sukses. Mereka tidak hanya berhasil menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik tetapi juga sukses meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.
Media dan juga para akademisi perlu didorong untuk ikut mempublikasikan tokoh-tokoh yang berhasil di daerahnya. Ini berguna agar masyarakat dan partai sadar bahwa banyak potensi pemimpin berkualitas di daerah-daerah. Mereka tidak lagi sekadar berjanji tetapi sudah menyajikan bukti. Kepemimipinan orang-orang yang dianggap tokoh lokal itu sudah terbukti mampu memperbaiki tata kelola pemerintahan dan juga memperbaiki kehidupan masyarakat. Bukan tidak mungkin mereka mampu mencobanya di tingkat nasional. Peluang maju menjadi presiden/wakil presiden harus dibuka lebar bagi para gubernur yang sukses.
Orang–orang seperti mereka seharusnya di masa depan secara berjenjang menaiki karir kepemimpinan sampai di level kepemimpinan nasional. Tidak berlebihan jika rakyat Indonesia kemudian bermimpi, suatu saat yang berlaga dalam pemilihan presiden adalah para gubernur terpilih. Dengan demikian, calon presiden adalah orang yang sudah teruji. Suskesi kepemimpinan nasional akan lebih segar. Bukan hanya kemudian mempertontonkan elite-elite tua Jakarta berbagi giliran memegang tampuk kekuasaan tertinggi.
No comments:
Post a Comment