Author: Hasan Nasbi
Orangnya pintar, pasti dong, lha wong masternya di Universitas Ohio dan sekarang calon doktor di Universitas Harvard. Tapi sayang, kalau nulis (bahkan cuma untuk komentar ringan di milis pun) selalu mengutip pakar-pakar asing. Seolah-olah dia gak pede kalau gak ngutip barang satu atau dua pakar yang namanya susah dieja dengan lidah orang Indonesia. Apalagi kalau udah nulis, wuihh udah deh, puluhan atau bahkan ratusan kutipan dan nama-nama aneh bersileweran dalam tulisannya.
Ini adalah fenomena intelektual kampung (an). Sindrom orang kampung yg datang ke kota. Lalu supaya dianggap kota (an), maka dia harus menggunakan “atribut-atribut kota” saat berhadapan dengan orang lain. Padahal orang kota beneran, ga perlu kaya gitu, atau ga senorak itulah, karena dia sudah pede bakal dianggap sebagai orang kota.
Nah, intelektual kaya gini juga mengalami sindrom yang mirip. Dia merasa tidak terlalu pede jika gak ngutip. Serasa omongannya kurang ilmiah, atau seolah-olah dia takut dianggap orang bego sehingga perlu melampirkan kutipan dari tokoh tertentu.
Sebagai penguat argumentasi, sah-sah saja jika kita melakukan kutipan, apalagi dari orang yang memiliki otoritas tinggi dalam hal tertentu. Namun, bila kebanyakan malah lucu. Kita gak tau mana yang merupakan argumentasi yang bersangkutan dan mana argumentasi tokoh yang dikutip. Atau jangan-jangan orang kampung macam ini sedang bermain dengan dua strategi adu gagasan. Strategi pertama adalah bahwa jika argumentasi itu benar, maka dia ikutan nebeng sebagai orang yang benar. Sebab, toh jika saya mengutip orang tertentu itu bearti saya juga memilki pendapat yang sama. Strategi kedua adalah lari dari kesalahan, sebab jika ternyata analisa berdasarkan kutipan itu salah, maka dengan enteng pun dia akan menjawab, lha saya khan cuma ngutip. Kalau ternyata salah, silahkan salahkan Huntington, Rhodee, Geertz, Duverger, Comte dan lain-lainnya itu.
Gaya seperti ini lazim kita temukan di kalangan tertentu, biasanya lulusan Amerika dan S1-nya berasal dari sebuah perguruan tinggi di Ciputat. Kalau tulisan atau omongan mereka tidak bertabur kutipan serasa kurang afdol. Makanya jangan heran, jika kita baca tulisannya, walau cuma lima halaman, tetapi bisa dengan puluhan kutipan dan lebih dari sepuluh daftar pustaka. Ck..ck..mantap. Kalau bikin skripsi, thesis,atau disertasi saya yakin di bagian belakang akan tercantum bukan lagi sekadar daftar pustaka, tetapi daftar buku di perpusatakaan. Dahsyat bo.
Orang macam ini sebenarnya orang yang biasa-biasa saja kecerdasannya. Cuma, mereka punya spirit yang luar biasa untuk maju. Ini positif sekali. Cuma ke-kampungannya tidak bisa ditinggalkan. Meskpun sudah doktor, gak pede juga untuk berpendapat sendiri sehingga harus cari kutipan lagi. Sebenarnya sayang, mereka jadi rujukan orang banyak dengan bunga-bunga kutipan itu. Padahal, orang-orang macam ini masih berada di level terendah peradaban manusia, yaitu berburu dan meramu. Mereka berburu bacaan dan meramu kutipan di sana-sini..dan jadilah sebuah tulisan atau gagasan yang diklaim sebagi pendapat sendiri.
Semoga saya terlindung dari kekampungan yang seperti ini
Orangnya pintar, pasti dong, lha wong masternya di Universitas Ohio dan sekarang calon doktor di Universitas Harvard. Tapi sayang, kalau nulis (bahkan cuma untuk komentar ringan di milis pun) selalu mengutip pakar-pakar asing. Seolah-olah dia gak pede kalau gak ngutip barang satu atau dua pakar yang namanya susah dieja dengan lidah orang Indonesia. Apalagi kalau udah nulis, wuihh udah deh, puluhan atau bahkan ratusan kutipan dan nama-nama aneh bersileweran dalam tulisannya.
Ini adalah fenomena intelektual kampung (an). Sindrom orang kampung yg datang ke kota. Lalu supaya dianggap kota (an), maka dia harus menggunakan “atribut-atribut kota” saat berhadapan dengan orang lain. Padahal orang kota beneran, ga perlu kaya gitu, atau ga senorak itulah, karena dia sudah pede bakal dianggap sebagai orang kota.
Nah, intelektual kaya gini juga mengalami sindrom yang mirip. Dia merasa tidak terlalu pede jika gak ngutip. Serasa omongannya kurang ilmiah, atau seolah-olah dia takut dianggap orang bego sehingga perlu melampirkan kutipan dari tokoh tertentu.
Sebagai penguat argumentasi, sah-sah saja jika kita melakukan kutipan, apalagi dari orang yang memiliki otoritas tinggi dalam hal tertentu. Namun, bila kebanyakan malah lucu. Kita gak tau mana yang merupakan argumentasi yang bersangkutan dan mana argumentasi tokoh yang dikutip. Atau jangan-jangan orang kampung macam ini sedang bermain dengan dua strategi adu gagasan. Strategi pertama adalah bahwa jika argumentasi itu benar, maka dia ikutan nebeng sebagai orang yang benar. Sebab, toh jika saya mengutip orang tertentu itu bearti saya juga memilki pendapat yang sama. Strategi kedua adalah lari dari kesalahan, sebab jika ternyata analisa berdasarkan kutipan itu salah, maka dengan enteng pun dia akan menjawab, lha saya khan cuma ngutip. Kalau ternyata salah, silahkan salahkan Huntington, Rhodee, Geertz, Duverger, Comte dan lain-lainnya itu.
Gaya seperti ini lazim kita temukan di kalangan tertentu, biasanya lulusan Amerika dan S1-nya berasal dari sebuah perguruan tinggi di Ciputat. Kalau tulisan atau omongan mereka tidak bertabur kutipan serasa kurang afdol. Makanya jangan heran, jika kita baca tulisannya, walau cuma lima halaman, tetapi bisa dengan puluhan kutipan dan lebih dari sepuluh daftar pustaka. Ck..ck..mantap. Kalau bikin skripsi, thesis,atau disertasi saya yakin di bagian belakang akan tercantum bukan lagi sekadar daftar pustaka, tetapi daftar buku di perpusatakaan. Dahsyat bo.
Orang macam ini sebenarnya orang yang biasa-biasa saja kecerdasannya. Cuma, mereka punya spirit yang luar biasa untuk maju. Ini positif sekali. Cuma ke-kampungannya tidak bisa ditinggalkan. Meskpun sudah doktor, gak pede juga untuk berpendapat sendiri sehingga harus cari kutipan lagi. Sebenarnya sayang, mereka jadi rujukan orang banyak dengan bunga-bunga kutipan itu. Padahal, orang-orang macam ini masih berada di level terendah peradaban manusia, yaitu berburu dan meramu. Mereka berburu bacaan dan meramu kutipan di sana-sini..dan jadilah sebuah tulisan atau gagasan yang diklaim sebagi pendapat sendiri.
Semoga saya terlindung dari kekampungan yang seperti ini
No comments:
Post a Comment