Author : Hasan Nasbi
Tanggal 20 Juli 2007, Harry Poeze, Direktur Penerbitan KITLV, penulis biografi Tan Malaka, akan ke Jakarta. Tujuannya adalah meluncurkan buku terbarunya tentang riwayat hidup Tan Malaka 1945-1949. Buku tersebut terdiri dari tiga jilid dengan jumlah halaman total 2.200 halaman dalam bahasa Belanda, gak tau deh jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Biasanya, kedatangan Poeze pasti akan disambut hangat, terutama oleh para pengikut dan pengagum Tan Malaka. Tapi saya berdebar-debar untuk kunjungan kali ini. Sebab isi buku terakhir ini akan membuka banyak hal. Ada yang melegakan dan ada pula yang mengkhawatirkan.
Dia akan membuka proses kematian Tan Malaka dan juga nama pembunuhnya. Poeze memang selalu merahasiakan ini, terutama tentang nama pembunuh Tan Malaka. Dia hanya pernah memberikan petunjuk bahwa orang itu pernah menjadi Walikota Surabaya pada tahun 1970-an. Meskipun pada awalnya agak ragu dengan kesimpulan itu, tetapi waktu pertemuan dengan saya bulan Januari lalu, dia sepertinya kembali yakin bahwa orang itulah orangnya.
Satu misteri sejarah Indonesia akhirnya terkuak. Akan ada beberapa perubahan penulisan sejarah setelah ini. Tetapi masih ada beberapa misteri kematian dan hilangnya pahlawan yang belum terungkap seperti Supriyadi dan Otto Iskandardinata. Semoga nanti juga akan ada yang berhasil menelusurinya. Hanya saja ada kesedihan juga, kenapa harus seorang Poeze, orang yang berasal dari negeri penjajah yang peduli dan berhasil menemukan jawaban misteri kematian Tan Malaka? Sedih.. Sebagai seorang pengagum Tan Malaka, saya sangat senang dengan terbitnya buku Poeze. Saya percaya dengan integritas beliau. Saya pernah mendampingi beliau waktu riset di Indonesia tahun 2004, dan dari sana saya yakin apa yang ditulisnya sebagai fakta adalah benar-benar temuan yang bisa dikonfirmasi.
Hanya saja, buku itu juga menakutkan. Sebab, Poeze dengan blak-blakan menyatakan bahwa Tan Malaka pernah diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan Soekarno. Peristiwa itu terjadi setelah Sokarno, Hatta, dan Syahrir ditangkap Belanda pada Agresi Militer II. Tan yang waktu ada di Jawa timur, dengan segala keterbatasan informasi, diangkat oleh sebagian laskar sebagai peresiden berdasarkan Proklamasi 1945 dan UUD 1945. Tan menaggap bahwa terjadi kekosongan kekuasaan pascapenangkapan para petinggi republik di Jogja.
Bukankah tindakan itu bisa disebut sebagai pemberontakan? Atau kudeta terhadap kepemimpinan yang sah? Saya khawatir, nanti akan ada gerakan untuk menggugat kepahlawanan Tan Malaka. Bukan hanya sekadar soal status kepahlawanan, tetapi juga dalam soal penulisan sejarah. Saya khawatir justru karena ini kemudian eksekusi lapangan oleh seorang kroco Surachmat terhadap Tan Malaka kemudian diangap wajar dan benar. Sehingga penembakan itu kemudian bisa saja dianggap sebagi ekskusi terhadap pengkhianat, bukan sebagai sebuah tragedi terhadap seorang penjuang.
Ada beberapa pegikut Tan Malaka yang juga sangat khawatir dengan hal ini. Tetapi saya, sebagi seorang akademisi berusaha untuk menerima akhir hidup Tan Malaka yang amat tragis. Ya, memang sangat tragis, bukan hanya karena dia dieksekusi tanpa prosedur hukum, tetapi juga karena alur logika pembaca sejarah juga akan digiring untuk berfikir,” toh wajar pelaku kudeta dihukum oleh pemerintahan yang sah”.
Jujur, saya belum membaca buku Poeze itu. Cerita ini saya peroleh dari email-email Poeze. beberpa minggu terakhir. Semoga kekhawatiran ini tidak menjadi kenyataan. Jantung saya akan senantiasa berdebar, menunggu peluncuran buku itu di Indonesia. Tan Malaka, pilihan hidupmu penuh tragedi. Jangan-jangan setelah mati pun namamu tidak akan pernah ditulis dengan manis, melainkan tetap dengan tragis. Jangan-jangan pembaca sejarah nantinya akan menganggapmu sebagai oportunis dan ambisius.
“dari ribuan pejuang republik ini, aku menempatkanmu pada puncaknya”
Tanggal 20 Juli 2007, Harry Poeze, Direktur Penerbitan KITLV, penulis biografi Tan Malaka, akan ke Jakarta. Tujuannya adalah meluncurkan buku terbarunya tentang riwayat hidup Tan Malaka 1945-1949. Buku tersebut terdiri dari tiga jilid dengan jumlah halaman total 2.200 halaman dalam bahasa Belanda, gak tau deh jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Biasanya, kedatangan Poeze pasti akan disambut hangat, terutama oleh para pengikut dan pengagum Tan Malaka. Tapi saya berdebar-debar untuk kunjungan kali ini. Sebab isi buku terakhir ini akan membuka banyak hal. Ada yang melegakan dan ada pula yang mengkhawatirkan.
Dia akan membuka proses kematian Tan Malaka dan juga nama pembunuhnya. Poeze memang selalu merahasiakan ini, terutama tentang nama pembunuh Tan Malaka. Dia hanya pernah memberikan petunjuk bahwa orang itu pernah menjadi Walikota Surabaya pada tahun 1970-an. Meskipun pada awalnya agak ragu dengan kesimpulan itu, tetapi waktu pertemuan dengan saya bulan Januari lalu, dia sepertinya kembali yakin bahwa orang itulah orangnya.
Satu misteri sejarah Indonesia akhirnya terkuak. Akan ada beberapa perubahan penulisan sejarah setelah ini. Tetapi masih ada beberapa misteri kematian dan hilangnya pahlawan yang belum terungkap seperti Supriyadi dan Otto Iskandardinata. Semoga nanti juga akan ada yang berhasil menelusurinya. Hanya saja ada kesedihan juga, kenapa harus seorang Poeze, orang yang berasal dari negeri penjajah yang peduli dan berhasil menemukan jawaban misteri kematian Tan Malaka? Sedih.. Sebagai seorang pengagum Tan Malaka, saya sangat senang dengan terbitnya buku Poeze. Saya percaya dengan integritas beliau. Saya pernah mendampingi beliau waktu riset di Indonesia tahun 2004, dan dari sana saya yakin apa yang ditulisnya sebagai fakta adalah benar-benar temuan yang bisa dikonfirmasi.
Hanya saja, buku itu juga menakutkan. Sebab, Poeze dengan blak-blakan menyatakan bahwa Tan Malaka pernah diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan Soekarno. Peristiwa itu terjadi setelah Sokarno, Hatta, dan Syahrir ditangkap Belanda pada Agresi Militer II. Tan yang waktu ada di Jawa timur, dengan segala keterbatasan informasi, diangkat oleh sebagian laskar sebagai peresiden berdasarkan Proklamasi 1945 dan UUD 1945. Tan menaggap bahwa terjadi kekosongan kekuasaan pascapenangkapan para petinggi republik di Jogja.
Bukankah tindakan itu bisa disebut sebagai pemberontakan? Atau kudeta terhadap kepemimpinan yang sah? Saya khawatir, nanti akan ada gerakan untuk menggugat kepahlawanan Tan Malaka. Bukan hanya sekadar soal status kepahlawanan, tetapi juga dalam soal penulisan sejarah. Saya khawatir justru karena ini kemudian eksekusi lapangan oleh seorang kroco Surachmat terhadap Tan Malaka kemudian diangap wajar dan benar. Sehingga penembakan itu kemudian bisa saja dianggap sebagi ekskusi terhadap pengkhianat, bukan sebagai sebuah tragedi terhadap seorang penjuang.
Ada beberapa pegikut Tan Malaka yang juga sangat khawatir dengan hal ini. Tetapi saya, sebagi seorang akademisi berusaha untuk menerima akhir hidup Tan Malaka yang amat tragis. Ya, memang sangat tragis, bukan hanya karena dia dieksekusi tanpa prosedur hukum, tetapi juga karena alur logika pembaca sejarah juga akan digiring untuk berfikir,” toh wajar pelaku kudeta dihukum oleh pemerintahan yang sah”.
Jujur, saya belum membaca buku Poeze itu. Cerita ini saya peroleh dari email-email Poeze. beberpa minggu terakhir. Semoga kekhawatiran ini tidak menjadi kenyataan. Jantung saya akan senantiasa berdebar, menunggu peluncuran buku itu di Indonesia. Tan Malaka, pilihan hidupmu penuh tragedi. Jangan-jangan setelah mati pun namamu tidak akan pernah ditulis dengan manis, melainkan tetap dengan tragis. Jangan-jangan pembaca sejarah nantinya akan menganggapmu sebagai oportunis dan ambisius.
“dari ribuan pejuang republik ini, aku menempatkanmu pada puncaknya”
No comments:
Post a Comment